Jurnal penelitian : Analisis perataan laba pada perusahaan non manufaktur
Penulis :
Lila Septia Adi Kusuma & Paskah Ika Nugroho
Nama Jurnal : vol.12, No 2, Mei 2013
Tahun terbit : 2013
Latar
Belakang
Pendahuluan
Laporan keuangan merupakan salah satu sumber
informasi akuntansi yang diharapkan mampu memberi bantuan bagi pihak-pihak yang
berkepentingan dalam proses pengambilan keputusan,misalnya bagi investor
sebagai pihak surplus dana, karena melalui laporan keuangan ini dapat diketahui
bagaimana kondisi suatu perusahaan. Laporan keuangan dibuat sebagai laporan
pertanggung jawaban manajemen perusahaan terhadap pengguna laporan keuangan
tersebut. Pada dasarnya pengguna laporan keuangan ini mencakup dua pihak, yaitu
pihak internal (manajemen) maupun pihak eksternal (investor, pemegang saham,
kreditur, pemerintah, karyawan, masyarakat), dan yang paling khusus dalam
penggunaan laporan keuangan adalah pihak eksternal karena dalam hal ini pihak
eksternal berada dalam posisi ketidakpastian yang paling besar, sedangkan pihak
internal mengetahui secara terperinci apa yang terjadi dalam perusahaan. Dengan
adanya hal ini menjadikan kondisi ketidakseimbangan perolehan informasi antara
pihak internal (manajemen sebagai penyedia informasi) dengan pihak eksternal
(sebagai pemakai informasi).
Sebenarnya isi semua komponen
laporan keuangan bermanfaat, akan tetapi pihak eksternal lebih cenderung
memperhatikan informasi laba. Nasser dan Herlina (2003:291) menyatakan bahwa
informasi laba pada umumnya merupakan perhatian utama dalam menaksir kinerja
atau pertanggungjawaban manajemen dan informasi laba membantu pemilik atau
pihak lain melakukan penaksiran atas “earning power” perusahaan di masa yang
akan datang.
Menyadari hal ini, manajemen
cenderung melakukan perilaku tidak semestinya yaitu dengan melakukan perataan
laba untuk mengatasi berbagai konflik kepentingan yang timbul antara manajemen
dengan berbagai pihak yang berkepentingan
dengan perusahaan (Budileksmana dan Andriani, 2005). Tindakan perataan laba
dapat didefinisikan sebagai proses memanipulasi profit waktu earning atau
pelaporan earning agar aliran laba yang dilaporkan perubahannya lebih sedikit
(Zuhroh, 1996).
Ada dua motivasi menurut Utomo
dan Siregar (2008) yang mendorong manajer melakukan perataan laba yaitu
efisiensi dan opurtunistik. Motivasi efisiensi dilakukan manajer dengan
berbagai alasan yaitu meningkatkan kepercayaan investor, mengurangi utang
pajak, dan menghindari permintaan kenaikan gaji oleh karyawan. Sedangkan
motivasi opurtunistik dilakukan manajer dengan tujuan untuk mendapatkan
keuntungan dari perusahaan.
Praktik perataan laba
merupakan suatu fenomena yang sudah tidak asing lagi bagi setiap perusahaan,
akan tetapi praktik perataan laba sulit untuk dideteksi dan dapat menyebabkan
informasi yang menyesatkan bagi para pengguna informasi tersebut. Apabila para
pengguna informasi tersebut tidak menyadari akan adanya praktik perataan laba
di dalam laporan keuanagan setiap perusahaan, maka dapat menyebabkan kesalahan
dalam pengambilan keputusan. Di lain sisi bagi pihak manajemen, praktik
perataan laba juga dapat menimbulkan kerugian apabila pihak eksternal
mengetahui bahwa informasi yang disajikan dengan tidak semestinya, yaitu harga
saham perusahaan yang tadinya bisa diperkirakan overvalued menjadi undervalued.
Ashari et al (1994) menemukan bahwa terdapat indikasi tindakan
perataan laba dan laba operasi merupakan
sasaran umum yang digunakan untuk melakukan perataan laba. Tindakan perataan
laba cenderung dilakukan oleh perusahaan yang profitabilitasnya rendah, dan
perusahaan dalam industri yang beresiko.
Menurut Ronen dan Simeha
(1975) perataan laba dapat dilakukan dengan berbagai cara, diantaranya (a)
melalui kejadian dan pengakuan peristiwa, untuk mengurangi fluktuasi laba yang
dilaporkan, manajemen dapat menentukan waktu terjadinya transaksi tersebut
terhadap laba yang dilaporkan cenderung rata sepanjang tahun; (b) melalui
alokasi, manajemen melakukan perataan dan mengalokasikan pendapatan dan biaya
selama beberapa periode pelaporan; (c) melalui klasifikasi, manajemen melakukan
perataan dengan mengklasifikasi laba sebagai ordinary dan extraordinary item.
Banyak penelitian mengenai
praktik perataan laba, penelitian Yusuf dan Soraya (2004) melakukan penelitian
dalam jangka waktu 4tahun pada perusahaan-perusahaan disektor manufaktur yang
dibagi menurut status perusahaan yaitu perusahaan yang terdaftar sebagai
penanam modal dalam negeri. Dari hasil perhitungan yang dilakukan, ada 30 perusahaan
yang dijadikan sampel, terdapat perusahaan 14perusahan asing dan non asing yang
melakukan perataan laba dan 16 perusahaan asing dan non asing tidak melakukan
tindakan perataan laba. Antara perusahaan asing dan non asing, perusahaan non
asing lebih banyak melakukan tindakan perataan laba. Hal ini nampak bahwa 8 dari
16 perusahaan non asing yang dijadikan sampel diindikasikan melakukan praktik perataan
laba laba atau sekitar 50% dari total sampel yang diuji untuk perusahaan non
asing tersebut. Sedangkan untuk perusahaan asing nampak bahwa 6 dari 14 perusahaan
asing yang melakukan praktik perataan laba atau 42,85% dari total sampel yang
diuji untuk perusahaan asing.
Penelitian Juniarti dan
Corolina (2005) membuktikan bahwa dari 54 perusahaan yang berhasil dijadikan
sampel, terdapat 25 perusahaan yang melakukan perataan laba (46,30% dari total
sampel) dan 29 perusahaan yang tidak melakukan perataan laba (53,70% dari total
sampel). Budileksmana dan Andriani (2005) meneliti bahwa dari 76 sampel perusahaan
diklasifikasikan menjadi dua kelompok yaitu sebanyak 37 perusahaan untuk
kelompok perata laba dan 39 perusahaan kelompok bukan perata laba.
Penelitian Dewi dan Carina
(2008) dari 52 perusahaan terdapat 25 perusahaan yang melakukan praktik
perataan laba dan 27 perusahaan tidak melakukan praktik perataan laba. Untuk
sektor industri tampak bahwa perusahaan manufaktur lebih banyak melakukan
praktik perataan laba dibandingkan dengan lembaga keuangan lainnya. Pada
perusahaan manufaktur terdapat 17 perusahaan dari 31 perusahaan melakukan yang
melakukan praktik perataan laba, artinya terdapat 54,84% perusahaan manufaktur yang melakukan
praktik perataan laba. Untuk lembaga keuangan lainnya terdapat 8 perusahaan
dari 21 perusahaan yang melakukan praktik perataan laba, artinya terdapat
38,10% lembaga keuangan lainnya yang melakukan praktik perataan laba. Penelitian
Mila dan Supatmi (2012) membuktikan bahwa dari 212 observasi yang melakukan
tindakan perataan laba 72 observasi dilakukan oleh perusahaan non manufaktur
dan 140 diantaranya dilakukan perusahaan manufaktur. Dari hasil tersebut dapat
dilihat bahwa dari 100 observasinya perusahaan non manufaktur, 72% diantaranya
melakukan perataan laba, sementara dari 300 observasi perusahaan manufaktur,
hanya 46,66% diantaranya melakukan tindakan perataan laba. Dari hasil tersebut
dapat disimpulkan bahwa perusahaan non manufaktur lebih memiliki dorongan untuk
melakukan tindakan perataan laba. Penelitian ini merupakan replikasi dari
penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Mila dan Supatmi (2012), karena
adanya indikasi bahwa perusahaan non manufaktur lebih cenderung melakukan
praktik perataan laba. Penelitian ini mencoba untuk meneliti lebih lanjut
mengenai praktik perataan laba pada perusahaan non manufaktur yang terdapat di
Bursa Efek Indonesia (BEI) pada periode tahun 2007-2011. Penelitian ini
diharapkan dapat memberikan kontribusi dan manfaat bagi para emiten dalam menilai
kinerja suatu perusahaan, serta dapat memberikan masukan pada investor sebelum
memutuskan untuk melakukan investasi.
TELAAH
LITERATUR
Manajemen Laba (EarningsManagement) Menurut
Tarjo dan Sulistyowati dalam Herni dan Susanto (2008) manajemen laba terjadi
ketika manajemen menggunakan keputusan tertentu dalam laporan keuangan dan
transaksi untuk mengubah laporan keuangan sebagai dasar untuk mempengaruhi hasil
kontraktual yang mengandalkan angka-angka akuntansi yang dilaporkan. Manajemen
laba dapat terjadi karena manajer diberi keleluasaan untuk memilih metoda
akuntansi yang akan digunakan dalam mencatat dan mengungkapkan informasi
keuangan privat yang dimiliki. Manajemen laba merupakan salah satu faktor yang
dapat mengurangi kredibilitas laporan keuangan, manajemen laba menambah bias
dalam laporan keuangan dan dapat mengganggu pemakai laporan keuangan yang
mempercayai angka laba hasil rekayasa tersebut sebagai angka laba tanpa
rekayasa (Herni dan Susanto, 2008). Mila dan Supatmi (2012) mengatakan manajemen
laba diartikan sebagai suatu proses yang dilakukan dengan sengaja dalam batasan
General Accepted Accounting Principles (GAAP). Scott dalam Mila dan Supatmi
(2012) mengemukakan bentuk-bentuk manajemen laba yang dilakukan oleh manajer
antara lain:
o Taking a bath, dilakukan ketika keadaan
buruk yang tidak menguntungkan tidak bisa dihindari pada periode berjalan, dengan
cara mengakui biaya pada periode-periode yang akan datang dan kerugian periode
berjalan.
o Income Minization,dilakukan saat
perusahaan memperoleh profitabilitas yang tinggi dengan tujuan agar tidak
mendapat perhatian secara politis. Kebijakan yang diambil bisa berupa pembebanan
pengeluaran iklan, riset dan pengembangan yang cepat dan sebagainya. Cara ini
mirip dengan taking a bath namun kurang ekstrim.
o Income Maximization,yaitu memaksimalkan
laba agar memperoleh bonus yang lebih besar. Demikian pula bagi perusahaan yang
mendekati suatu pelanggaran kontrak hutang jangka panjang, manajer perusahaan
tersebut cenderung untuk memaksimalkan laba.
o Income Smoothing (Perataan Laba),merupakan
bentuk manajemen laba yang paling sering dilakukan dan paling populer, lewat
income smoothing, manajer menaikkan atau menurunkan laba untuk mengurangi
fluktuasi laba yang dilaporkan sehingga perusahaan terlihat stabil atau tidak
beresiko tinggi.
Perataan Laba (Income Smoothing)
Perataan laba menurut Assih dkk (2000), merupakan
tindakan yang dilakukan dengan sengaja untuk mengurangi variabilitas laba yang
dilaporkan agar dapat mengurangi resiko pasar atas saham perusahaan, yang pada
akhirnya dapat meningkatkan harga saham perusahaan. Rivard dkk (2003)
mendefinisikan incom smoothing sebagai sebuah praktik dengan menggunakan
tehnik-tehnik akuntansi untuk mengurangi fluktuasi laba bersih selama beberapa
periode waktu. Perataan laba adalah cara yang digunakan oleh manajer untuk
mengurangi fluktuasi laba yang dilaporkan agar sesuai target yang diinginkan
baik melalui metode akuntansi maupun melalui transaksi (Zuhroh, 2006).
Konsep perataan laba
sebenarnya sejalan dengan konsep manajemen laba, yaitu menggunakan teori
keagenan (agency teory). Menurut Budileksmana dan Eka (2005) menyatakan bahwa
tehnik manajemen laba dipengaruhi oleh konflik kepentingan antara manajemen
(agent) dan pemilik (principal) yang timbul ketika setiap pihak berusaha untuk
mencapai atau memperhatikan tingkat kemakmuran yang dikehendakinya.
Menurut Utomo dan Siregar,
(2008) perataan laba dibagi menjadi 2, yaitu:
o Perataan laba yang terjadi secara alamiah
(naturally income smoothing) Merupakan sebuah proses yang dilakukan oleh pihak
manajemen secara langsung tanpa adanya rekayasa.
o Perataan laba yang disengaja oleh
manajemen (intentionally income smoothing) Terjadi karena adanya campur tangan
dari pihak manajemen.
Bisa dalam bentuk:
• Perataan laba rill
Merupakan tindakan manajemen
dalam mengendalikan peristiwa ekonomi yang secara langsung mempengaruhi laba
perusahaan di masa yang akan datang.
• Perataan laba artificial
Merupakan usaha yang
dilakukan manajemen untuk meratakan laba dengan cara manipulasi.
Menurut Ronen dan Sadan
(1981) dalam Belkoui (1993) perataan laba dapat
dilakukan dengan 3 cara, yaitu:
1. Manajemen dapat menetapkan waktu terjadinya
peristiwa tertentu untuk mengurangi perbedaan laba yang diperoleh.
2. Manajemen dapat mengalokasikan
pendapatan dan beban tertentu pada periode
akuntansi yang berbeda.
3. Manajemen dengan kebijaksanaannya mengelompokan
item laba tertentu ke dalam kategori yang berbeda.
Alasan perataan laba oleh
manajemen menurut Hepwort (1953) adalah sebagai berikut:
1. Sebagai rekayasa untuk mengurangi laba dan
menaikkan biaya pada periode berjalan yang dapat mengurangi hutang pajak.
2. Dapat meningkatkan kepercayaan investor
karena kestabilan penghasilan dan kebijakan deviden sesuai dengan keinginan.
3. Dapat mempererat hubungan antara manajer
dan karyawan karena dapat menghindari perintah kenaikan upah atau gaji oleh
karyawan.
4. Memiliki dampak psikologis pada
perekonomian.
Selain itu, menurut Foster
(1986) dalam Suwito dan Herawati (2005) mengungkapkan bahwa tujuan perataan
laba adalah untuk memperbaiki citra perusahaan dimata pihak eksternal dan
menunjukkan bahwa perusahaan tersebut memiliki resiko yang rendah. Disamping
itu, memberikan informasi yang relevan dalam melakukan prediksi terhadap laba
pada masa mendatang, meningkatkan kepuasan relasi bisnis, meningkatkan persepsi
pihak eksternal terhadap kemampuan manajemen, dan meningkatkan kompensasi bagi
pihak manajemen.
Menurut Foster (1986) pos–pos
tertentu pada laporan keuangan yang sering digunakan sebagai sasaran manajemen
untuk melakukan perataan laba adalah:
a) Pos–pos penjualan misalnya dengan membuat
faktur penjualan pada periode yang akan datang ke periode saat ini, atau dengan
membuat penjualan fiktif atau memasukkan produk baik ke dalam produk cacat atau
rusak sehingga dapat dilaporkan telah terjual dengan harga yang lebih rendah
dari harga semestinya.
b) Pos–pos biaya, misalnya biaya dibayar
dimuka dianggap sebagai biaya pada periode saat ini.
Metode
Penelitian
Populasi dan Sampel
Populasi penelitian adalah perusahaan non
manufaktur yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI) tahun 2007-2011.
Penelitian ini menggunakan periode waktu pada tahun 2007-2011, jumlah observasi
73.
Tabel 1
Pemilihan Sampel Penelitian
Perusahaan
yang terdaftar di bursa efek indonesia selama periode 2007-2011
|
381
|
Perusahaan
tidak menerbitkan laporan keuangan selama periode 2007-2011
|
-68
|
Perusahaan
yang selama periode 2007-2011 tidak melaporkan laba
|
-138
|
Perusahaan
melakukan akuisisi dan merger selama periode 2007-2011
|
|
Sampel
penelitian yang digunakan
|
73
|
Sumber: data sekunder yang diolah, 2013
Jenis dan Sumber Data
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah
data sekunder dalam bentuk laporan keuangan tahunan yang telah diaudit untuk
perusahaan publik yang telah terdaftar di Bursa Efek Indonesia tahun 2007-2011.
Sumber data yang diperoleh dari web www.idx.co.id dan Indonesian Capital Market
Directory (ICMD).
Variabel Penelitian dan Pengukuran Variabel
Dalam penelitian ini, variabel penelitian
adalah perataan laba. Praktik perataan laba diukur dengan menggunakan indeks
eckel(Utomo dan Siregar, 2008). Indeks eckel ini dilakukan untuk mengetahui
perusahaan yang melakukan perataan laba dengan perusahaan yang tidak melakukan
perataan laba. Adapun indeks perataan laba dihitung dengan rumus sebagai
berikut:
Keterangan :
CV : Koefisien variasi dari variabel yaitu
standar deviasi dengan nilai yang diharapkan Apabila CV
I ≥ CV
S atau Indeks Perataan Laba 1 maka perusahaan tidak digolongkan
perusahaan yang melakukan tindakan perataan laba, sedangkan CV
I < CV
S atau Indeks Perataan Laba < 1 maka perusahaan digolongkan
perusahaan yang melakukan tindakan perataan laba.
I ≥ CV
S atau Indeks Perataan Laba 1 maka perusahaan tidak digolongkan
perusahaan yang melakukan tindakan perataan laba, sedangkan CV
I < CV
S atau Indeks Perataan Laba < 1 maka perusahaan digolongkan
perusahaan yang melakukan tindakan perataan laba.
Keterangan :
N :
Banyaknya tahun yang diamati
Perataan laba akan diukur dengan dummy variable,
skor (1) jika perusahaan melakukan
tindakan perataan laba, dan skor (0) jika perusahaan tidak melakukan tindakan perataan laba.
Hasil
Dan Pembahasan Statistik Deskriptif
Analisis deskriptif adalah memberikan
gambaran atau deskripsi suatu data yang
dilihat dari nilai rata-rata (mean),
standar deviasi, maksimum, nilai minimum
(Ghozali, 2006). Adapun hasil dari
statistik deskriptif dapat dilihat di tabel 2.
Berdasarkan Tabel 2 menunjukkan bahwa nilai
tertinggi Indeks Perataan
Laba (IPL)sebesar 30,78, nilai terendah
sebesar -1,34, nilai rata-rata untuk IPL
sebesar
1,4693 dengan standar deviasi sebesar 4,32389. Sedangkan nilai
status
terbesar adalah 1 dan nilai terkecil
sebesar 0 (1: melakukan tindakan perataan laba
dan 0: tidak melakukan tindakan perataan
laba) dengan jumlah responden 73,
dari73jumlah respondentersebut
mempunyainilai rata-ratanya sebesar 0,30 dengan
standar deviasi sebesar 0,462.
Analisis
per Jenis Industri
Berdasarkan tabel 3 menunjukkan bahwa
secara keseluruhan sampel perusahaan
agriculture, forestry and fishing, tidak
melakukan perataan laba yang ditunjukkan
dengan nilai hasil perbandingan koefisien
varians laba dan penjualan masih di
bawah angka 1, hanya PP London Sumatra
Indonesia yang melakukan perataan laba.
Dari sampel yang digunakan pada jenis industri
agriculture, forestry and fishing,
memiliki nilai prosentase sebesar 20% (1
dari 5 perusahaan yang menjadi sampel
penelitian).
LSIP atau
PP London Sumatra Indonesia (LONSUM) merupakan perusahaan perkebunan dan
perdagangan yang menjadikan karet sebagai komoditas utama perseroan. Selama tahun 2007-2011
pendapatan perusahaan LSIP, pada tahun 2009
saja LSIP mengalami penurunan pendapatan, yaitu sebesar 220068 (dalam miliaran rupiah), dan penjualan pada tahun
2009 juga mengalami penurunan sebesar 646467.
Pada perhitungan Indeks Perataan Laba (IPL) mempunyai nilai sebesar 1,19533.
Berdasarkan tabel 4 menunjukkan bahwa secara keseluruhan
sampel perusahaan animal feed and
husbandry, tidak melakukan perataan laba yang
ditunjukkan dengan nilai hasil perbandingan koefisien varians laba lebih
besar dari pada varians penjualan atau dengan kata lain nilai indeks perataan
laba pada perusahaan animalfeed and husbandry
masih di bawah 1. Akan tetapi ada 1 perusahaan yang melakukan
praktik perataan laba, yaitu Multibreeder Adirama IndonesiaTbk. Hal ini
menunjukkan bahwa perusahaan animalfeed and husbandry memiliki nilai prosentase
sebesar 33,33% dalam hal melakukan tindakan perataan aba per jenis industri.
Perusahaan Multibreeder Adirama Indonesia
Tbkmemulai usahanya secara komersial
pada tahun 1985, ruang lingkup kegiatan perusahaan ini meliputi bidang pertanian,
peternakan, perikanan, industri dan perdagangan umum. Selama 5 tahun (tahun
2007-2011), perubahan pendapat setiap tahun cenderung mengalami penurunan,
hanya pada tahun 2009 perubahan pendapatan perusahaan ini mengalami kenaikan,
yaitu sebesar 164855. Akan tetapi untuk perubahan penjualan dalam perusahaan
ini cenderung mengalami kenaikan, hal ini ditunjukkan dari data yang diperoleh, selama 5 tahun hanya tahun 2010
saja yang mengalami penurunan penjualan,
penurunan penjualan pada tahun itu sebesar 787085. Dari hasil perhitungan data sekunder menunjukkan bahwa
nilai indeks perataan laba untuk perusahaan
ini cukup besar, yaitu 21,37878.
Berdasarkan tabel 5 menunjukkan bahwa
secara keseluruhan sampel perusahaan mining and mining services, tidak melakukan perataan
laba yang ditunjukkan dengan nilai hasil perbandingan koefisien varians
laba dan penjualan masih dibawah angka 1, hanya Perusahaan Gas Negara yang melakukan
perataan laba. Perusahaan mining and
mining services memiliki nilai
prosentase 33,33% dalam hal melakukan
tindakan perataan laba.
PT Perusahaan Gas Negara (Persero) Tbk pada
awalnya bernama Firma L.J. N. Eindhoven & Co. Gravenhage yang didirikan
pada tahun 1859 dan akhirnya menjadi perusahaan perseroan terbatas yangdimiliki
oleh negara (“Persero”) dan namanya
berubah menjadi PT Perusahaan Gas Negara(Persero) berdasarkan Peraturan PemerintahNo. 37 tahun 1994 dan Akta
PendirianPerusahaan No. 486 tanggal 30
Mei 1996. Selama 5 tahun (tahun 2007-2011) PGAS mengalami kenaikan pendapatan
hanya pada tahun 2009 dan 2010, 3 tahun lainnya mengalami penurunan. Dalam
penjualannya selama 5 tahun, PGAS ini juga mengalami penurunan penjualan selama
2 periode waktu juga, akan tetapi penurunannya pada tahun 2009 dan tahun 2011.
Pada perhitungan indeks perataan laba, PGAS memiliki nilai sebesar 1,01948.
Berdasarkan tabel 6 menunjukkan bahwa
secara keseluruhan sampel perusahaan constructions, melakukan perataan laba
yang ditunjukkan dengan nilai hasil perbandingan koefisien varians laba dan penjualan
dengan angka 1, hanya Total Bangun Persada yang tidak melakukan perataan
laba. Maka dari itu perusahaan
constructions memiliki nilai prosentase
yang cukup besar dalam melakukan tindakan perataan laba, yaitu sebesar 66,66%
(dari sampel perusahaan constructions).
Dari hasil perhitungan secara keseluruhan, perusahaan constructions mempunyai
nilai prosentase tindakan perataan laba yang paling tinggi dibandingkan jenis perusahaan yang lainnya. Adhi Karya
(Persero) Tbk merupakan perusahaan yang bergerak dibidang konstruksi, EPC, properti, real estate,
investasi infrastruktur dan perusahaan ini berdiri pada 11 Maret 1960. Dari
tahun 2007-2011 perusahaan ini cenderung
mengalami kenaikan pendapatan, hanya pada tahun 2008 saja mengalami
penurunan pendapatan, yaitu sebesar 30119. Penurunan penjualan juga terjadi,
akan tetapi hanya pada tahun 2010, penurunan penjualan sebesar 2039634. Dalam
perhitungan IPL nya, mempunyai nilai sebesar 1,28098. Dalam perhitungan data
sekunder, Petrosea Tbk memiliki nilai
indeks perataan laba sebesar1,14577. Perusahaan ini berdiri sejak tahun 1972,
yang bergerak dibidang industri batubara, minyak dan gas bumi di Indonesia.
Dalam kurun waktu 5 tahun yang dijadikan tahun penelitian, perusahaan ini
mengalami penurunan pendapatan selama 2 tahun berturut-turut, yaitu pada tahun
2008 dan 2009. Dan pada tahun 2009 perusahaan ini mengalami penurunan penjualan,
penurunan penjualan ini sebesar 638280.
Berdasarkan tabel 7 menunjukkan bahwa sampel
perusahaan transportation services,
tidak melakukan tindakan perataan laba, yang ditunjukkan dengan nilai hasil indeks perataan laba di bawah 1.
Berdasarkan tabel 8
menunjukkan bahwa sampel perusahaan telecommunication, tidak melakukan
perataan laba yang ditunjukkan dengan nilai hasil perbandingan koefisien
varians laba dan penjualan masih di bawah angka 1.Atau dengan kata lain, sampel
perusahaan telecommunication sama dengan perusahaan transportation services,
dalam sampel yang dijadikan penelitian kedua perusahaan ini tidak melakukan
praktik perataan laba.
Berdasarkan tabel 9 menunjukkan bahwa secara keseluruhan
sampel perusahaan whole sale and retail
trade tidak melakukan praktik perataan laba.Hanya terdapat satu perusahaan yang
melakukan perataan laba yang ditunjukkan dengan nilai hasil perbandingan
koefisien laba dan penjualan 1 (dummy angka 1) yaitu Ramayana Lestari Sentosa.
Dengan ini menunjukkan bahwa nilai prosentase
tindakan perataan laba pada perusahaan whole sale and retail trade sebesar
14,28%. Satu perusahaan yang melakukan tindakan perataan laba, mempunyai IPL
sebesar 1,20846. Ramayana Lestari Sentosa Tbk pada tahun 2009 mengalami
penurunan pendapatan, yaitu sebesar 94984. Akan tetapi perubahan penjualan selama
periode penelitian selalu konstan, tidak mengalami penurunan. Perusahaan
Ramayana Lestari Sentosa Tbk merupakan salah satu department store terkemuka di
Republik Indonesia yang berdiri sejak tahun 1978
Berdasarkan tabel 10 menunjukkan bahwa
sampel perusahaan banking hanya terdapat dua bank yang melakukan perataan laba
yaitu Bank Mandiri dan Bank Nusantara Parahyangan atau nilai prosentase
perusahaan banking yang melakukan tindakan peratan laba dari
total sampel pada jenis perusahaan banking hanya sebesar 16,66% saja.
Berdasarkan tabel 11 menunjukkan bahwa
secara keseluruhan sampel perusahaan credit agencies other than bank, terdapat dua perusahaan yang melakukan
perataan laba yang ditunjukkan dengan nilai lebih dari 1 (dummy) yaitu Adira
Dinamika Multi Finance dan Truss Finance Indonesia. Hal ini menunjukkan bahwa
perusahaan credit agencies other than bank
memiliki nilai prosentase sebesar 40% dari sampel jenis industri credit
agencies other than bank.
Berdasarkan tabel 12 menunjukkan bahwa
secara keseluruhan sampel perusahaan securities, memiliki nilai prosentase 60% dari jumlah
sampel pada perusahaan securities yang melakukan tindakan perataan laba. Ada
tiga perusahaan melakukan perataan laba yang ditunjukkan dengan nilai hasil
perbandingan koefisien laba dan penjualan dengan angka 1, yaitu perusahaan Kresna
Graha Sekurindo, Panca Global Securities dan Trimegah Securities
Berdasarkan tabel 13 menunjukkan bahwa
secara keseluruhan sampel perusahaan insurance, ada 3 perusahaan yang melakukan
perataan laba yang ditunjukkan dengan nilai hasil perbandingan koefisien laba
dan penjualan dengan angka 1, yaitu Asuransi Multi Artha Guna, Maskapai
Reasuransi Indonesia dan Panin Insurance. Dengan kata lain perusahaan insurance
memiliki nilai prosentase sebesar 42,85% secara keseluruhan dari sampel jenis
industri insurance.
Duta Pertiwi Tbk merupakan perusahan yang bergerak dibidang property.Perusahaan yang bergerak dibidang property, tercatat di Bursa Efek Indonesia (BEI) pada tahun 1995. Dalam penelitian ini, DUTI memiliki nilai indeks perataan laba yang paling tinggi, yaitu sebesar 30,7752. Selama kurun waktu dalam penelitian, DUTI memiliki nilai perubahan pendapatan menurun pada 2 tahun awal, yaitu tahun 2007 dan 2008 dan perubahan penurunan penjualan pada tahun 2008 dan 2009.
Gowa Makassar Tourism Development Tbk merupakan perusahaan yang bergerak dibidang properti. Meskipun pendapatan pada 5 tahun (tahun 2007-2011) tergolong kecil, akan tetapi perubahan pendapatan selalu konstan naik, begitupula pada penjualannyapun juga tetap konstan. Hasil dari olah data sekunder, GMTD memiliki nilai perata laba sebesar 1,17744.
PT Jaya Real Property, Tbk. merupakan salah satu pengembang properti hunian dan komersial terkemuka di Indonesia yang berdiri sejak tahun 1979. Perusahaan ini memiliki nilai perubahan pendapatan dan penjualan yang stabil. Perubahan dalam tahun ketahun tidak pernah mengalami penurunan. Perusahaan ini memiliki nilai perataan laba sebesar 1,06168.
Pudjiadi Prestige Tbk berdiri sejak tahun 1983, perusahaan ini bergerak di kancah bisnis property dan real estat nasional. Perusahaan ini memiliki IPL sebesar 1,67102. Pada tahun 2007, perusahaan ini mengalami penurunan pendapatan sebesar 2849, dan pada tahun itu juga perusahaan ini mengalami penurunan penjualan sebesar 16686.
Pada tahun yang dijadikan penelitian Summarecon Agung Tbk memiliki nilai perubahan pendapatan yang negatif selama 3 tahun berturut-turut diawal, yaitu pada tahun 2007-2009. Akan tetapi nilai pada perubahan pendapatan memiliki nilai negatif pada tahun 2009 saja, yaitu sebesar 69343.
Berdasarkan tabel 15 menunjukkan bahwa secara keseluruhan sampel perusahaan hotel and travel services, tidak melakukan perataan laba yang ditunjukkan dengan nilai hasil perbandingan koefisien laba dan penjualan masih di bawah angka 1. Hal ini menunjukkan bahwa nilai prosentase pada perusahaan hotel and travel servicessebesar 0% pada sampel perusahaanyang melakukan tindakan perataan laba.
Berdasarkan tabel 16 menunjukkan bahwa secara keseluruhan sampel perusahaan holding and other investment companies, tidak melakukan perataan laba yang ditunjukkan dengan nilai hasil perbandingan koefisien laba dan penjualan masih di bawah angka 1. Perusahaan holding and other investment companiesjuga memiliki prosentase 0% terhadap praktik perataan laba pada sampel perusahaan holding and other investment companies.
Berdasarkan tabel 17 menunjukkan bahwa secara keseluruhan sampel perusahaan others, tidak melakukan perataan laba yang ditunjukkan dengan nilai hasil perbandingan koefisien laba dan penjualan masih di bawah angka 1. hanya satu perusahaan yang melakukan perataan laba yaitu Surya Citra Media Tbk.
PT Surya Citra Media Tbk, atau selanjutnya disebut ‘Perseroan’, didirikanpada tahun 2000 dengan fokus bidang usaha meliputi jasa multimedia, hiburan dankomunikasi, terutama dibidang pertelevisian.Pada tahun yang dijadikan penelitian perubahan pendapatan selalu konstan, tidak ada perubahan pendapatan yang negatif.
Dari tabel 18 yang telah diolah terdapat 22 perusahaan yang melakukan tindakan perataan laba, dan sisanya sebanyak 51 perusahaan yang tidak melakukan perataan laba. Atau secara prosentase menunjukkan 30% perusahaan melakukan tindakan perataan laba dan sisanya 70% dari total perusahaan, tidak melakukan tindakan perataan laba.
Kesimpulan Dan Saran
Berdasarkan penelitian yang dilakukan, maka dapat diambil kesimpulan bahwa dari 73 sampel dari perusahaan non manufaktur terdapat 22 perusahaan yang melakukan tindakan perataan laba, dan 51 perusahaan yang dijadikan sampel tidak melakukan tindakan perataan laba. Dari analisis per jenis industri dapat diketahui bahwa prosentase yang paling tinggi melakukan tindakan perataan laba terdapat pada perusahaanconstructions, nilai prosentasenya sebesar 66,66% (2 perusahaan melakukan tindakan perataan laba dari 3 responden yang dijadikan sampel). Meskipun prosentase terbesar terdapat pada perusahaan constructions, akan tetapi nilai indeks perataan laba tertinggi terdapat pada perusahaanreal estate and property,yaitu sebesar 30,7752. Hal ini jelas terlihat nyata bahwa DUTI memiliki nilai penjualan yang cukup besar, akan tetapi meskipun nilai penjualan dikategorikan besar, nilai pendapatan pada DUTI terlihat jelas berbeda jauh ke bawah.
Sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan, maka untuk implikasi terapan dalam menilai kinerja perusahaan bagi para investor sebaiknya agar lebih melihat lagi secara detail pada perusahaan constructions, akan tetapi pada perusahaan real estate and property dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan untuk berinvestasi juga.
Adapun keterbatasan dari penelitian ini adalah hanya menganalisis tentang perataan laba perjenis industri saja, tidak meneliti secara detail tentang faktor-faktor yang mempengaruhi tindakan perataan laba itu sendiri. Saran untuk penelitian selanjutya adalah dapat melakukan penelitian yang khusus ditujukan untuk mengembangkan model pengukuran perataan laba yang lebih akurat, misalkan per industri tertentu saja misalnya hanya farmasi atau perbankan.
tanggal 11 juni 2016, 05.19 wib




















Komentar
Posting Komentar